banner 728x90
Tanah dari Daik-Lingga dan air sumur Pulau Penyengat menjadi bahan ritual yang dibawa Gubernur Kepri Ansar Ahmad saat mengikuti kemah di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur. F-Istimewa/Diskominfo Kepri

Gubernur Se-Indonesia Ngumpul di IKN Nusantara Kaltim, Ini Bahan Ritual yang Dibawa Ansar Ahmad

Komentar
X
Bagikan

Tanjungpinang, suaraserumpun.com – Gubernur Kepulauan Riau H Ansar Ahmad mengikuti kemah bersama para gubernur se-Indonesia di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, Minggu (13/3/2022) sampai Selasa (15/3/2022). Kemah ini diikuti Presiden RI Joko Widodo serta sejumlah menteri yang akan diwarnai dengan ritual adat yang melibatkan air dan tanah. Ini yang dibawa Ansar Ahmad.

Sebagai syarat ritual, setiap gubernur diminta membawa tanah dan air dari daerahnya masing-masing. Dan dalam kesempatan ini Gubernur Kepulauan Riau H Ansar Ahmad didampingi beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) membawa 2 kilogram tanah yang diambil dari Daik, Kabupaten Lingga. Serta 1 liter air dari Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang. Para gubernur juga diminta untuk mengenakan pakaian adat masing-masing selama kegiatan berlangsung.

Gubernur Kepri Ansar Ahmad mengatakan, air dan tanah yang dibawa akan digunakan dalam ritual adat di IKN Nusantara. Diyakini ritual ini mengandung makna filosofis, agar selalu mengingat asal-muasal nenek moyang dan mempertahankan kearifan leluhur yang sudah ada di bumi Nusantara.

Baca Juga :  Remaja Ngumpul hingga Larut Malam Dipaksa Bubar

“Sesuai masukan dan saran dari para tetua adat di Kepri, kita putuskan membawa tanah yang kita ambil dari Istana Damnah Daik-Lingga, dan air dari sumur Balai Adat Pulau Penyengat Indera Sakti,” kata Ansar Ahmad, Minggu (13/3).

Kenapa tanah yang diambil dari Daik Lingga, menurut Ansar tanah ini berada di lokasi Struktur Cagar Budaya Bekas Tapak Istana Damnah yang dibangun pada tahun 1860 semasa kesultanan Lingga – Riau Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883), serta dibantu oleh yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf Al – Ahmadi beserta Pemaisurinya (isteri) Tengku Embung Fatimah. Tepatnya tanah yang dibawa diambil dari lokasi Balai Bertitah (Singgasana) tempat Balai Pemerintahan Sultan yang merupakan Balai Bagian Bekas Istana Sultan Lingga – Riau terakhir di Daik – Lingga Kabupaten Lingga Bunda Tanah Melayu.

Baca Juga :  Pemko Tanjungpinang Menyuguhkan Pertunjukan Seni dan Budaya Lewat Gawai Rakyat 2024

Sesuai sejarah, istana Damnah tahta pemerintahannya ketika itu diteruskan oleh Tengku Embung Fatimah (1883-1883) sebagai pemerintahan sementara, lalu dilantiklah dan dinobatkannya Anandanya Raja Abdul Rahman menjadi Sultan Lingga – Riau pada Tahun 1875 dengan gelar sultan Abdulrahman Muazzam Syah (1885-1991) yang merupakan Sultan Lingga – Riau terakhir.

“Berdasarkan sejarah, sumber tanah yang kita bawa ini sangat erat kaitannya dengan sejarah dan nilai-nilai leluhur Melayu di Kepri,” jelas Ansar Ahmad.

Alasan membawa air dari sumur Balai Adat Pulau Penyengat Indera Sakti dikarenakan banyak yang mengatakan bila aeseorang ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau belumlah lengkap jika belum bertandang ke Pulau Penyengat serta minum atau sekedar cuci muka menggunakan air di Pulau tersebut.

Saat ini, situs-situs bersejarah yang ada di pulau Penyengat sedang diusulkan kepada UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan) untuk menjadi situs warisan dunia.

Baca Juga :  Agus Wibowo: Tiga Pekan, Usulan Draf Tatib Pilwabup Bintan Terkesan Tak Diproses Provinsi

“Air tawar itu hingga saat ini tetap bisa dinikmati oleh masyarakat setempat dan para wisatawan yang datang berkunjung. Ada beberapa sumur di Pebyengat dan salah satunya adalah yang berada di bawah gedung Balai Adat Pulau Penyengat yang berfungsi sebagai tempat untuk menyambut tamu atau mengadakan perjamuan bagi orang – orang penting,” ujar Ansar lagi.

Sumur yang dimaksud oleh Gubernur Ansar tersebut hanya memiliki kedalaman sekitar 2,5 meter. Meski demikian tidak pernah kering sepanjang tahun walaupun di musim kemarau. Bahjan air sumur yang ditemukan sejak abad ke-16 tersebut tidak masin seperti kebanyakan sumber air yang berada dekat laut. Walaupun sumur tersebut terletak hanya sekitar 30 meter dari pantai. (nurul atia)

Editor: Sigik RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *