banner 728x90
Rino Pambudi. F- dok/suaraserumpun.com

Korupsi dan Institusionalisasi Partai Politik

Komentar
X
Bagikan

Penulis: Rino Pambudi
Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Stisipol RHF Tanjungpinang (NIM: 21101069)

MENDEKATI pesta pora demokrasi satu per satu kejutan-kejutan politik mulai menampakkan wajah. Kejutan yang terbaru, Ketua Umum PPP Romahurmuziy terkena OTT KPK atas dugaan jual beli jabatan pada Kementerian Agama. Kejadian ini sekali lagi memberi tamparan, sekaligus memperingatkan adanya ketidakstabilan sistem dalam kehidupan politik Indonesia.

Jika mengadopsi pendapat Huntington (1968), maka ketidakstabilan ini merupakan akibat dari ketidakberdayaan sistem politik untuk mengarahkan suatu tatanan pada pelembagaan lembaga-lembaga politik. Apabila sudah begini, maka yang terjadi adalah ketidakteraturan yang berdampak pada munculnya penyakit-penyakit politik, salah satunya adalah “korupsi politik”.

Korupsi politik ini berdampak pada empat hal, yakni kehancuran parpol, ketidakterlembaganya sistem kepartaian, tergerusnya solidaritas negara, dan hilangnya kepercayaan publik. Tentu kejadian yang menimpa elite PPP tersebut semakin menegaskan tesis Kunichova, terutama terkait dengan institusionalisasi partai yang sangat lemah. Saya menyoroti “institusionalisasi”, sebab ia merupakan roh atau hati suatu partai politik. Jika roh atau hati ini buruk, maka buruk pula aktivitas keorganisasian yang dilakukan.

Integritas
Dalam Kertas Posisi (Position Paper) tentang Sistem Integritas Partai Politik(2017), KPK menyatakan bahwa ketidakintegritasnya parpol diakibatkan oleh empat faktor, yakni ketiadaan standar etik, kaderisasi yang lesu, rekrutmen yang kacau, dan tata kelola keuangan partai yang masih serampangan.

Faktor yang pertama bisa disimak dalam kasus yang menimpa Romahurmuziy terkait jual beli posisi yang sangat strategis: kementerian pengatur hidup beragama. Rentetan fakta-fakta yang ada menampakkan suatu kondisi bahwa Romahurmuziy selaku pimpinan partai secara masif berupaya untuk membentuk kelompok-kelompok kohesif yang bekerja guna meningkatkan peluang-peluang agar tetap memegang kekuasaan, sekaligus mencari untung jangka panjang, terutama terkait hajat elektoral.

Baca Juga :  Hapuskan Kasus Stunting, Anak Berusia 12-18 Tahun Sudah Bisa Divaksin

Robert Michels (1962) menamai perilaku ajeg parpol yang seperti itu dengan sebutan “hukum besi oligarki”, yakni saat parpol sudah kehilangan fungsi demokratisnya. Tentu saja kecolongan ini bisa dialamatkan kepada kelemahan Komisi Aparatur Sipil Negara dalam mengawal agenda reformasi birokrasi. Namun demikian secara indeep, kejadian jual beli jabatan birokrasi ini juga diakibatkan oleh adanya hubungan mesra antara birokrasi dengan elite partai terkait, seperti yang sudah diprediksi oleh Leftwich (1995).

Apabila hal ini tidak segera diinsyafi oleh para elite, maka bisa saja berdampak pada munculnya kecurigaan publik terhadap beberapa kementerian yang saat ini dipimpin oleh elite parpol tertentu.

Faktor kedua dan ketiga, yakni kaderisasi dan rekrutmen, bisa disimak lewat pengakuan KPK yang berpendapat,bahwa selama ini keberadaan partai politik belum bisa dikatakan sebagai pihak yang serius menciptakan good governance, melainkan masih mempraktikkan perilaku bad governance. Bahkan KPK mencatat, pada 2004- 2016, sebanyak 32% pelaku tindak korupsi berasal dari para pemimpin publik yang berangkat dari partai politik.

Salah satu sebab ironi parpol tersebut adalah ketiadaan sistem kaderisasi dan rekrutmen politik yang sistematis, baku, dan berjenjang. Kalau toh ada, mungkin hanya terfokus pada formalitas seleksi atau pelatihan keanggotaan saja, tidak tegas dan inkonsisten dalam penerapannya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menegaskan semua itu bersumber dari logika partai yang masih didominasi oleh elite, di mana prosedur kepartaian yang dibuat justru dengan mudahnya dilanggar oleh elite partai sendiri.

Baca Juga :  Thomas Cup 2021: Denmark Tersingkir, Indonesia Vs China di Final

Sebut saja maraknya rumus vote seeking lewat peminangan terhadap tokoh publik yang sudah populer, padahal dalam partai tentu sudah mengatur jenjang kaderisasi dan mekanisme rekrutmen. Hal ini menambah praduga negatif terhadap sistem rekrutmen yang masih tertutup, eksklusif, dan nepotis. Apabila watak “melanggar batas” demikian itu diajegkan, maka secara tidak sadar akan terbawa ke ranah-ranah publik, seperti lembaga pemerintahan.

Elite parpol yang merasa menguasai lembaga pemerintahan tertentu tidak segan- segan untuk ikut mengatur perekrutan anggotanya. Akibatnya, birokrasi publik yang lahir kerap kali tunduk pada aturan main partai. Fenomena ini menggambarkan kondisi yang oleh J. Chant (1972) disebut politisasi birokrasi, yakni birokrasi yang ada merupakan tangan panjang elite parpol pengusung, sehingga aktivitas birokrasi pun keputusan perekrutan tidak lebih sekadar kepura-puraan di depan publik. Sekali lagi, kasus Romahurmuziy mempertegas argumentasi ini.

Faktor keempat, yakni keuangan partai, menjadi bahasan yang acap kompleks. Dalam kasus yang menimpa Romahurmuziy, saya bisa mengatakan adanya upaya mengkapitalisasi modal yang tersedia di lapangan Kemenag untuk mendanai manuver partai. Dana APBN yang dirasa tidak memadai ditambah pembatasan sumbangan pihak ketiga oleh UU Parpol mengakibatkan pimpinan partai harus melakukan langkah licik: memompa iuran dari anggota partai yang berprofesi sebagai pejabat.

Baca Juga :  Gubernur Kepri Membuka Kejurkot Persinas ASAD Kota Batam

Menurut Caroline Paskarina (2018), cara-cara seperti disebutkan tersebut menandakan adanya relasi klientelistik yang bisa bertransformasi menjadi korupsi politik akut. Dalam arena demokrasi elektoral dengan kompetisi yang sangat ketat, relasi klientelistik dapat berlangsung sedemikian rupa antar-elite pembuat kebijakan dan berbagai kelompok kepentingan. Relasi Klientelistik ini bisa berubah menjadi korupsi dengan cara menjadikan suatu lembaga publik tertentu sebagai wadah kas partai lewat manipulasi anggaran atas nama program pemerintah.

Oleh karena itu, lubang-lubang yang memungkinkan kemunculan korupsi politik di atas harus segera disumbat dengan suatu usaha institusionalisasi yang mengedepankan kejujuran, profesionalitas, akuntabilitas, dan transparansi. Partai-partai politik musti didorong untuk mengembangkan sistem rekrutmen dan keanggotaan yang baik.

Niat baik tersebut bisa diawali dengan mengharuskan semua partai politik membuat rancangan yang sistematis, mulai dari kode etik keanggotaan, panduan berupa modul terkait rekrutmen dan kaderisasi, regulasi kerja kepartaian, implementasi sistem yang berkelanjutan, pengadaan sistem monitoring dan evaluasi, serta penjangkauan akses publik terhadap aktivitas partai.

Akhirnya sebagai penutup, tampaknya kita perlu merenungkan kembali sepenggal tulisan Moh. Hatta berjudul Demokrasi Kita (1960) sebagai berikut: Partai yang pada hakikatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar rakyat belajar bertanggung jawab sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, partai dijadikan tujuan dan negara sebagai alatnya. (***/suaraserumpun.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *