banner 728x90
Mak Dara Derita si pelestari joget dangkong. F- Istimewa/dokumentasi syafaruddin

Deritanya ‘Mak Dara Derita’ Dalam Menjaga Tradisi Joget Dangkong

Komentar
X
Bagikan

Oleh: Syafaruddin SSn MM
Pamong Budaya Madya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang

KAMPUNG Dompak Lama termasuk dalam kawasan Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kampung yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan. Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Pada umumnya masyarakat Kampung Dompak hanya lulusan pendidikan menengah.

Sebelum terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau, Kampung Dompak ini sulit dijangkau dengan jalan darat. Namun semenjak dibangunnya pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau di Pulau Dompak, Kampung Dompak telah dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Siang itu kami menelusuri jalan menuju Dompak. Di kiri kanan terlihat deretan rumah penduduk yang kelihatannya sudah berubah bila dibandingkan sebelum kawasan tersebut dihubungkan dengan jalan darat. Beberapa rumah sudah dibuat dengan baik. Berdinding beton semen dan beratap seng. Ada juga beberapa rumah masih semi permanen.

Walaupun dalam kondisi sedikit tertinggal, Kampung Dompak memiliki seorang pelestari kesenian melayu “joged dangkung.” Dia adalah Dara Derita seorang perempuan paruh baya yang tetap setia menjaga tradisi joged di Kota Tanjungpinang. Saat ditemui “Mak Dare”, begitu biasanya dia dipanggil, sedang meraut lidi daun kelapa di halaman rumahnya. Satu persatu daun kelapa diraut dan dikumpulkan.

“Inilah Pak kerje saye selame musim wabah ni, kalau tak meraut lidi, tak makan.”
“Gerup joget ape cerite Mak?”
“Jangankan nak bejoget, nak bejalan aje susah. Siape nak bejoget kalau tutup mulot hidung. Ade mampos kat panggung tu tak benapas.” Jawab Mak Dare.
“Iye juge ye Mak.”
“Iye, jadi selame wabah ni kami turun laut same meraut lidi ni lah yang dapat dilakukan. Kalau tak kerje macam ni alamat tak berasap dapo rumah.”
Saya mencoba melepas pandangan sekilas ke rumah Mak Dare. Sebuah rumah yang kecil berdinding GRC dan beratap asbes gelombang.
“Berape penghasilan meraut lidi tu Mak?”
“Die pakai kilo, sekilo due belas ribu rupiah. Sehari dapatlah sekilo.” Jawab Mak Dare singkat sambil matanya melirik ke saya.

Lirikan mata itu mengandung berjuta makna. Terlalu perit untuk diungkapkan. Seolah-olah berkata bahwa inilah nasib kami orang kecil yang termarjinalkan oleh kondisi dunia yang semakin tidak perduli dengan kondisi penghuninya. Jika ditatap ke langit, maka semakin tiada berartilah mereka di tengah hiruk pikuk orang-orang yang berlomba menumpuk harta.

Kemudian saya masuk ke rumah Mak Dare. Di sudut dinding tertata sound system, serta gendang joget yang terlihat sedikit berdebu. Biasanya di sisi kiri kamar tidur yang dilapisi koran bekas tergantung biola pak Odong, suami Mak Dare yang baru saja meninggal dunia.

Baca Juga :  Kepala BPKAD Tanjungpinang Menyatakan Tidak Ada Pemotongan Gaji

Joget Dangkung Mak Dara Tanjungpinang adalah tradisi yang diwariskan oleh abang Mak Dara yang bernama Aren. Pak Aren juga memperolehnya dari keluarganya. Pak Aren bersentuhan dengan joget sejak tahun 70-an. Pada saat itu kesenian joget menjadi primadona hiburan di Kepulauan Riau.
Hampir setiap kampong memiliki grup joget. Sebut saja joget Moro, joget Tembeling, joget Karas, joget Mantang, joget Medan, joget Kalimantan.

Ketika itu Mak Dara selalu mengikuti kemana saja grup joget pimpinan Pak Aren tampil. namun bukan sebagai penari, akan tetapi hanya sebagai pemukul gong. Setelah malang melintang di dunia perjogetan Pak Aren merasa sudah tidak mampu lagi menjalankan kelompok jogetnya. Akhirnya dia menyerahkan kepada adeknya Mak Dara untuk melanjutkan tradisi joget yang telah dibinanya.

Awalnya Mak Dara menolak permintaan abangnya karena dia merasa tidak mampu untuk menjalankannya. Maklumlah, pekerjaan Mak Dara dalam kersehariannya hanyalah sebagai nelayan. Tidak mampulah rasanya memimpin orang begitu banyak. Apalagi pendidikannya hanya sampai sekolah dasar, itupun tidak tamat. Atas dorongan abangnya, akhirnya Mak Dara bersetuju melanjutkan tradisi joget menimbang bahwa abangnya sudah mulai renta.

Dengan bantuan adik angkatnya bernama Nahar, mulailah Mak Dara malang melintang dalam dunia hiburan tradisi joget. Pentas pertama joget dangkung Mak Dara di Desa Tembeling Bintan. Desa dimana dulunya sangat terkenal dengan tradisi jogetnya.

Ada cerita unik pada pementasan pertama ini. Dari sinilah awal mula pertemuan dengan suaminya Pak Odong. Pada pementasan di Tembeling itu, Mak Dara tidak memiliki pemain biola. Atas saran penduduk setempat, Mak Dara disuruh menjumpai Pak Odong. Beliau adalah mantan pemain biola salah satu grup joget Desa Tembeling. Karena grup joget Pak Odong bankrut, akhirnya Pak Odong gantung biola.

Singkat cerita, Mak Dara menuju rumah Pak Odong, sayang Pak Odong tidak di rumah. Yang menyambut Mak Dara adalah istri Pak Odong. Mak Dara mengutarakan maksudnya pada istri Pak Odong. Selanjutnya dengan penuh harap Mak dara berkata bahwa jika Pak Odong bersedia, silakan ke panggung joget tempat grup joget Mak Dara bermain. Dan malam harinya nampaklah Pak Odong menenteng biola dan menjumpai Mak Dara. Sejak malam itu jadilah Pak Odong sebagai pemain biola grup joget Mak dara.

Baca Juga :  Gubernur Kepri: Realisasi Belanja Daerah Tahun 2022 Sebesar Rp3,84 Triliun

Lalu bagaimana Pak Odong menikah dengan Mak Dara? Bagaimanapun Mak Dara sebagai orang melayu sejati tetap memelihara norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Beliau merasa tidak enak jika selalu bersama Pak Odong yang statusnya adalah suami orang, sementara Mak Dara sendiri adalah seorang janda. Dengan memberanikan diri, Mak Dara menemui istri Pak Odong dan berterus terang kalau Mak Dara siap menjadi istri kedua Pak Odong. Tanpa diduga istri Pak Odong merelakannya. Maka jadilah Mak Dara bermadu. Dan sejak itu pula mereka selalu bersama dalam setiap pementasan. Pak Odong bersama kedua istrinya selalu tampil bersama.

Dengan langkah terseok-seok, joget Mak Dara terus berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 1980-an jagat hiburan rakyat berkembang dengan pesatnya. Namun ketika memasuki tahun 1990-an kondisi mulai berubah. Kemajuan teknologi informasi telah menggerus system sosial masyarakat. Orgen tunggal tumbuh bagai jamur dimusim hujan. Pementasan joget semakin berkurang. Satu persatu grup joget hilang dari peredaran. Dalam kondisi itu Mak Dara mencoba bertahan. Hinggalah tahun 2001 saat Tanjungpinang berubah menjadi Kota Otonom, Mak Dara mendapat perhatian dari pemerintah. Bantuan mengucur, undangan tampil semakin sering.

Dalam pementasannya joget Mak Dara tidak mengenal jampi-jampi pemanis atau berbagai jenis pegangan petua lainnya. Sebelum pementasan Mak Dara selalu turun langsung merias dan mengatur busana para penari Joged. Tata Rias para penari joget adalah rias cantik atau natural. Sementara busana berupa baju kebaya pendek berkain panjang atau rok panjang.

Joget dangkung biasanya dipentaskan di panggung atau halaman. Joget dangkung Mak Dara telah melalui proses yang panjang. Awalnya joget berfungis sebagai sarana hiburan pada pesta pernikahan, sunatan, tujuhbelasan. Kemudian semakin luas sehingga joged dangkung juga berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi atau sebagai mata pencaharian.

Dalam setiap pertunjukannya. joget dangkung Mak Dara memiliki struktur pertunjukan, mulai dari tabik sampai penutup dengan lagu gelang sipatu gelang. Gerakan bertabik, penari berdiri tegak, tangan kiri dan kanan di belakang saling berpegangan. Kaki kanan digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan posisi tumit tetap menempel di tanah.

Dondang sayang yaitu tari pembuka dilakukan dengan melenggang yang merupakan ucapan selamat datang di pementasan joget. Dilanjutkan dengan joget rancak seperti mainang dan joget tanjungkatung. Setelah itu barulah dimulai joget (ngibing). Siapa yang berminat dipersilakan naik ke panggung dengan terlebih dahulu membeli karcis. Jika pementasan di tempat orang kawin biasanya tidak memakai karcis alias free karena sudah ditanggung tuan rumah. Jika sudah selesai maka acara ditutup dengan lagu sipatu gelang.

Baca Juga :  Wali Kota Tanjungpinang Berbagi Takjil di Pamedan

Alat musik yang digunakan berupa gong, tambur, biola dan tamborin. Dengan alat tersebutlah para pemusik membawakan berbagai macam lagu, seperti: Serampang Laut, Tanjung Katung, Nona Singapura, Raja Doli dan banyak lagi yang lainnya.

Akan tetapi setelah kepergian suaminya, kehidupan Mak Dara semakin sulit. Grup joget Mak Dara semakin jarang tampil. Jika tidak segera diperhatikan maka tidak menutup kemungkinan grup yang hanya satu-satunya di Tanjungpinang akan punah. Jika demikian hilanglah identitas jati diri daerah ini.

Kepedulian pemerintah daerah sangat diharapkan. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana melahirkan mak dara-mak dara yang lain. Perlu ada regulasi untuk menjaga kelestarian danghung. Harus ada upaya memaksakan diri agar dangkung selalu hadir di tengah masyarakat.

Beberapa kebijakan yang dapat diambil adalah, menganjurkan kepada masyarakat untuk selalu mengundang dangkung di setiap perhelatan perkawinan. Terutama para pegawai pemerintahan. Misalnya ada dangkung di malam berinai besar. Ada dangkung di panggung bulanan yang dilaksanakan pemerintah melalui dinas terkait. Memberi bantuan rutin bulanan seperti yang dilakukan pemerintah pusat pada penyelamat tradisi. Pemerintah daerah harus merasa bersalah jika sampai kesenian tradisi hilang dari muka bumi ini. Sadarlah bahwa saat ini:

MakYong jalan terhoyong-hoyong
Mendu seperti putri sedang beradu
Gobang melayang-layang
Joget terseret-seret
Melemang sembunyi seperti umang
Bangsawan berada di awan

Semua memerlukan penyelamatan. Semua memerlukan oksigen, semua memerlukan transfusi darah. Jangan lengah karena semua itu adalah khazanah orang tua kita dulu untuk anak cucunya. Tanpa mereka maka tiadalah artinya kita hari ini. Tanpa identitas maka kita akan kehilangan harga diri. Tidak banyak orang seperti Mak Dara di Tanjungpinang khususnya dan Provinsi Kepulauan Riau. Paling banyak 30 orang penyelamat tradisi di Provinsi ini.

Jika dianggarkan 1 juta rupiah seorang per bulan, maka baru 30 juta rupiah sebulan. Bukankah itu uang yang sebanding dengan perjalanan dinas seorang pejabat atau wakil rakyat untuk sekali jalan?

Aaaaah betapa berdosanya kita jika membiarkan mereka para penyelamat tradisi itu berjalan sendiri menyelamatkan khazanah negeri. ***

Editor: Sigik RS (suaraserumpun.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *