banner 728x90
Andriansyah. F- Istimewa/dokumentasi andriansyah

Restorative Justice dalam Kekerasan Rumah Tangga

Komentar
X
Bagikan

Oleh: Andriansyah
Jaksa Kejari Kota Tanjungpinang

NEGARA Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana Konstitusi Indonesia telah menjamin hal tersebut yang dituangkan kedalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum“.

Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada di negara Indonesia, pengaturan terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Seperti halnya ilmu hukum lainnya, hukum pidana mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat.

Kemudian tujuan khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan hukum. Yaitu orang (martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain sebagainya), masyarakat dan negara. Bahwa Hukum Pidana adalah jalan terakhir dalam penyelesaian perkara (Ultimum Remedium) sebisa mungkin jalan perdamaian adalah jalan yang paling utama dalam penyelesaian perkara pidana.

Sejak manusia diciptakan di Dunia oleh Allah SWT dari segumpal tanah, Nabi Adam dan Hawa adalah pasangan pertama dalam peradaban manusia sebagaimana Firman Allah “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS adz-Zaariyat [51]: 49). Merujuk Firman Alllah tersebut sebagaimana manusia yang dilahirkan ke Bumi sudah tentu setiap manusia haruslah memiliki pasangan hidupnya guna menjaga kelangsungan kehidupan peradaban dunia.

Dilansir dari situs resmi United Nation, pada tahun 2011 jumlah penduduk dunia mencapai angka 7 miliar orang. Kemudian di tahun 2016 mencapai 7,4 miliar orang dan jumlah penduduk dunia tahun 2020 mencapai 7,7 miliar orang. Diperkirakan pada tahun 2030 akan tumbuh mencapai 8,5 miliar penduduk dan pada tahun 2050 mencapai 9,7 miliar penduduk.

Hal tersebut terjadi karena berlangsungannya kehidupan berumah tangga sebagaimana Firman Allah “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir,” (Surah Ar-Rum Ayat 21).

Berdasarkan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawina dijelaskan dalam pasal 1 “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Undang-Undang tersebut juga diatur persyaratan batas usia perkawinan untuk seorang laki-laki dan perempuan, berdasarkan Undang-undang tesebut batas umur pernikahan diatur untuk laki-laki dan perempuan haruslah berumur 19 tahun dimana sebelumnya di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan batas umur perkawinan perempuan adalah 16 tahun.

Pengaturan batas umur memiliki latar belakang sehubungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu “Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara. Baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.”

Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.

Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Baca Juga :  2024, Cen Sui Lan Mengalokasikan Rp16 Miliar untuk Revitalisasi Empat Madrasah Negeri di Natuna

Kasus pernikahan dini menjadi salah satu pemicu banyaknya perceraian pasangan muda. Sehingga menghasilkan 1.201 janda muda dalam setahun di kota Mojokerto. Hal ini terjadi karena belum matangnya pikiran dan kurang mampunya mengontrol emosi dari pasangan muda tersebut menyebabkan banyaknya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai pemicu atau alasan perceraian. Padahal merujuk Hadist Nabi Muhammad telah dijelaskan “Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian”[H.R. Abu Daud dan Hakim].

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), per 1 Januari hingga 6 November 2020 menunjukkan dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan (5.573 kasus), mayoritas kasusnya adalah KDRT (3.419 kasus atau 60,75 persen).

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Ancaman hukuman dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bervariasi tergantung pengaturan deliknya di antara:

  • Pasal 44: ayat 1 “Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”. ayat 2 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)”. ayat 3 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)”.

Ayat 4 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.

Pasal 45: Ayat 1 “Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)”. Ayat 2 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)”.

Bahwa dari uraian diatas dapat kita ketahui terdapat beberapa jenis ancaman pidana dalam pengaturan kekerasan Fisik dan Psikis dimana khusus pasal 44 ayat 4 dan Pasal 45 ayat 2 dikategorikan termasuk kedalam Delik Aduan yaitu delik yang hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib (dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh polisi, kejaksaan, dan hakim) apabila didahului dengan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.

Di Indonesia dikenal dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut adalah delik yang hanya dapat diproses jika ada pengaduan. Contohnya tertera dalam Pasal 284, 287, 293, 310, 332, 322, dan 369 KUHP. Dalam kasus ini, semua pihak yang terkait dengan kasusnya harus dituntut. Contohnya, dalam kasus pasal 284 mengenai perzinahan, apabila seorang istri mendapati suaminya berselingkuh, ia tidak dapat hanya menuntut selingkuhannya saja, tetapi suaminya juga harus ditindak.

Baca Juga :  BPS: Cabai Merah dan Minyak Goreng Penyebab Terjadi Inflasi di Kepri

Sementara itu, delik aduan relatif merupakan delik yang biasanya tidak menjadi delik aduan, tetapi dapat menjadi delik aduan jika dilaporkan oleh sanak keluarga seperti yang ditetapkan dalam Pasal 367 KUHP. Pasal-pasal yang merupakan delik aduan relatif di dalam KUHP adalah Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam kasus ini, orang yang bersalah dapat dituntut secara selektif dan tidak semuanya harus dilaporkan.

Dikarenakan Delik Aduan ini dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan sehingga di dalam KUHP khususnya pasal 75 menyatakan bahwa pengaduan dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah pengajuan aduan. Pengaduan yang telah dicabut pada umumnya tidak dapat diajukan lagi.

Bahwa Penuntut Umum merupakan pengendali perkara berdasarkan asas Dominus litis sehingga terkait Perkara Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai peranan penting terkait perkara yang diajukan penyidik kepada Penuntut Umum.

Jaksa Agung ST.Burhanuddin dalam kalimat bijaknya “Keadilan tidak ada di dalam buku tetapi keadilan itu ada di dalam hati Nurani” sejalan dengan kalimat bijak Jaksa Agung tersebut tidak hanya diucapkan di mulut saja tetapi Jaksa Agung mengimplementasikannya kedalam bentuk Peraturan Jaksa Agung pada tanggal 21 Juli 2020 ( Perja No.15 tahun 2020) tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dalam Pasal 1 ayat 1 Perja No.15 Tahun 2020 disebutkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,korban,keluarga pelaku/Korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan Pemulihan Kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Dengan adanya Perja No.15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Jaksa Agung memberikan ruang kepada Penuntut Umum berdasarkan asas Dominuls Litis untuk melakukan deskresi perkara berdasarkan Hati Nurani.

Istilah keadilan restoratif sudah sejak lama dikenal dalam Hukum Pidana berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977 yang mencoba untuk membedakan tiga bentuk peradilan pidana, masing-masing adalah restributive justive, distributive justice dan restorative justive. Menurut Eglash, fokus restributive justice adalah menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukan olehnya. Sedangkan distributive justice memiliki tujuan rehabilitasi pelaku. Sementara restorative justive pada dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.

Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah kejahatan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang mana hampir 90 % perkara yang diancam UU PKDRT korbannya adalah istri dan pelakunya adalah suami ataupun sebaliknya. Padahal tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, merujuk tujuan Perkawinan tersebut disinilah Peran Penuntut Umum sangat dibutuhkan.

Penyelesaian Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga jika menggunakan asas Restorative Justice Penuntut Umum dapat menggunakan dua Alternatif:

  • Jika ancaman hukumannya tidak lebih dari 4 bulan sebagaimana pasal 44 ayat 4 dan 45 ayat 2 UU Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka termasuk dalam kategori delik aduan sehingga dapat menggunakan pasal 75 KUHP dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak perbuatan tersebut terjadi dapat menyelesaikan kasus tersebut. Dengan ketentuan bahwa korban dengan terdakwa sudah berdamai dan korban sudah mencabut laporan. Maka Penuntut Umum dapat menghentikan perkara tersebut baik melalui petunjuk yang diberikan kepada Penyidik.

Sehingga diterbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) sesuai dengan Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: SE/8/VII/2018 Tanggal 27 Juli 2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana sedangkan jika penyidik tetap melimpahkan perkara kepada Penuntut Umum maka Penuntut Umum dapat menghentikan Penuntutan tersebut dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

  • Jika ancaman perkaranya maksimal 5 tahun sebagaimana pasal 44 ayat 1 dan 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka dapat menggunakan Perja No.15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif karena seusai ketentuan Pasal 4 dan 5 Perja tersebut mengisyarkatkan persyaratan Penghentian Penuntutan tersebut salah satunya ancamannya maksimal 5 tahun. Jika terjadi kesepakatan antara korban dan pelaku maka Penuntut Umum dapat menghentikan perkara tersebut setelah adanya Persetujuan Penghentian Perkara dari Kepala Kejaksaan Tinggi maka paling lambat 2 (dua) hari Penuntut Umum harus mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
Baca Juga :  Menyambut Ramadan, SSB Bina Bintang Muda Kepri Latihan Bersama dengan Bina Patra Tanjunguban

Berdasarkan Pengalaman Penulis terkait Perkara PKDRT sebelum lahirnya Perja 15 tahun 2020 menjadi hal yang dilematis saat Terdakwa adalah Suami dan Korban adalah Istri yang sedang hamil besar. Saat akan berlangsungnya proses lahiran peran seorang suami sangatlah dibutuhkan oleh Istri yang akan melahirkan. Karena sosok suami adalah pemberi motivasi dan semangat kepada istrinya saat melahirkan. Namun saat keberadaan suami sangat dibutuhkan disamping istri semuanya menjadi sirna, karena suami ditahan di Penjara dikarenakan kelabilan suami yang emosinya belum matang.

Dikarenakan saat itu perkara sudah lewat 3 bulan maka tidak ada alternatif lain lagi untuk menghentikan perkara tersebut guna mempertahankan keutuhan rumah tangga. Namun kejadian tersebut tidak akan terulang Kembali dengan adanya Perja No.15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang dikeluarkan Jaksa Agung ST.Burhanuddin.

Penghentian Penghentian Penuntutan ini sangatlah sejalan dengan pendapat Gustav Radbruch dimana hukum itu harus mengandung 3 nilai identitas yaitu: Asas Kepastian Hukum. Asas Keadilan Hukum. Asas Kemanfaatan Hukum.

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis, maka tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.

Keadilan hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Maksudnya keadilan tidak bisa disamaratakan tergantung dari kebutuhan masing-masing. Menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.”

Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural, misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan hukum acara perdata (prosedural).

Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya, dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman mati itulah yang dijatuhkan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lebih banyak manfaatnya jika suatu Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga diselesaikan oleh Penuntut Umum melalui 2 (dua) cara diatas yaitu:

Pertama melalui petunjuk (P-19) kepada penyidik atau. Yang kedua, dilakukan sendiri oleh penuntut Umum menggunakan Instrumen Perja 15 tahun 2020. Karena hal tersebut akan dirasakan lebih bermanfaat bagi pelaku dan korban dalam kekerasan rumah tangga. Karena dapat menjaga keutuhan rumah tangga sebagaimana tujuan yang sangat mulia dari suatu ikatan Perkawinan. ***

Editor: Sigik RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *