banner 728x90
Syafaruddin. F- Istimewa/dokumentasi syafaruddin

Mengenang Wan Izhar Abdullah, Wawako Pertama Kota Tanjungpinang (Bagian III)

Komentar
X
Bagikan

Oleh: Syafaruddin SSn MM
Pamong Budaya Madya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang

Laut Sakti Rantau Bertuah
Jika kita menoleh ke belakang melihat lembaran awal kehidupan Haji Wan Izhar Abdullah, mungkin kita akan berkata, sudah sepantasnyalah beliau diberi kemurahan dan kebahagiaan yang diperoleh saat ini. Tempaan hidup yang penuh cobaan telah mengajarkan banyak hal. Ganasnya laut Cina Selatan telah menjadikan hatinya sekeras karang dalam menghadapi bagaimana jua keadaan.

Berawal dari sebuah pulau yang bernama Bunguran, suasana damai terlihat jelas disepanjang pesisir pantainya. Matahari pagi terbit di sisi laut pantai timur perkampungan nelayan itu. Riak air laut terdengar bertingkah dengan suara kicau burung di dekat pepohononan yang tumbuh di bibir pantai. Asap mengepul di selah rimbunan pepohonan kelapa yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai.

Suasana Kota Ranai di tahun 1942 memang cukup sederhana. Rumah-rumah penduduk beratapkan rumbia. Satu dua saja yang beratap seng. Rumah yang tergolong besar adalah rumah-rumah keluarga Datuk Kaya. Keluarga bangsawan di tanah Bunguran. Dari deretan rumah-rumah yang ada terdapat pula rumah-rumah para pegawai Belanda yang ditempatkan di daerah Bunguran. Salah satu rumah tersebut adalah perkantoran talipuni (telkom). Rumah tersebut didiami oleh Wan Abdullah dengan istrinya Wan Gundah.

Keluarga Wan Abdullah bekerja sebagai peniaga, petani dan juga nelayan. Kehidupan mereka serba kecukupan Kebun kelapa yang mereka miliki cukup luas. Lahan pertanian yang mereka miliki tidak hanya di Pulau Bunguran akan tetapi sampai ke Midai.

Daerah Bunguran dan gugusan pulau lainnya seperti Midai, Sedanau, Serasan, Terempak, Letung dan Tambelan sudah dikenal sebagai daerah penghasil pertanian. Dengan perahu yang disebut tuako, para petani membawa hasil buminya seperti karet, kopra, ikan untuk dijual ke Singapura, dan juga ke Kucing, Serawak. Dua daerah tujuan perdagangan ini sangat dikenal oleh masyarakat Bunguran. Tidak heran jika hubungan perdagangan itu memjadi hubungan kekerabatan karena diikat oleh perkawinan.

Dari hubungan perdagangan yang lancar tersebut menjadikan daerah bunguran dan sekitarnya sebagai daerah yang makmur. Berita kemakmuran bunguran terdengar sampai ke daratan Sumatera. Tidak heran jika banyak orang yang berasal dari Sumatera yang bermastautin di daerah Bunguran dan sekitarnya. Mereka hidup rukun dan damai, beranak pinak membentuk masyarakat yang harmonis. Natuna telah memberi secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga :  Silaturahmi di Mentigi, Ansar Ahmad: Tahun Ini, Rp70 Miliar untuk Pembangunan di Bintan

Anak Perang
Seperti biasa pada pagi itu tanggal 12 Desember 1942, kota Ranai kelihatan asri. Masyarakat melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari sebelumnya. Mereka pergi kebun, sawah dan ladang, menyiangi rumput yang mengganggu tanaman mereka. Asap mengepul di selah-selah pepohonan kelapa dan karet. Sekali-sekali terdengar suara roda kayu gerobak membawa hasil bumi ke pelabuhan Penagi. Hasil bumi tersebut akan dijual ke Singapura. Bulan Desember adalah masa yang cocok untuk berlayar ke selatan. Angin buritan akan membawa para peniaga ke Singapura.

Akan tetapi berbeda dengan Wan Abdullah. Beliau terlihat mondar-mandir di halaman rumahnya. Sekali-sekali kepalanya ditolehkan kearah rumah. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara tangis bayi melengking memecah kesunyian. Rupanya Wan Gundah yang mengandung dan sedang menunggu hari, telah melahirkan. Pak Wan Abdullah nampak bergegas masuk ke dalam rumah. Mak bidan kampung keluar dari kamar sambil menggendong seorang bayi laki-laki kecil mungil. Mata Pak Wan Abdullah nampak berbinar menyiratkan kebahagiaan. Ditatapnya anak manusia yang masih merah tersebut, lalu digendongnya. Kemudian terdengar suara azan keluar dari mulut Pak Wan Abdullah. Suaranya terdengar sedikit parau karena bercampur dengan suasana haru dan bahagia. Selanjutnya anak tersebut diberinya nama Wan Izhar.

Kebahagiaan keluarga kecil tersebut tidak berlangsung lama. Di Eropa tentara Jerman telah membombardir kota-kota negara tetangganya seperti Inggris, Prancis. Sementara di Pasifik, bala tentara Jepang telah membombarir Pear Harbour, sebuah pangkalan militer Amerika di Hawaii. Perang Dunia II meletus.

Pulau Bunguran yang berada di Laut Cina Selatan juga menjadi sasaran tentara Jepang. Gugusan pulau yang berada di laut Cina Selatan sangat cocok sebagai pangkalan militer. Letaknya yang strategis sangat baik untuk menyerang tentara sekutu seperti Belanda, Prancis yang menguasai Asia Tenggara.

Baca Juga :  Pengurus Masjid dan Musala Wajib Menyediakan Fasilitas Prokes saat Salat Tarawih

Pada saat tentara Jepang masuk, pulau Bunguran dan Siantan dibombardir. Pelabuhan Penagi, Sedanau dan Terempak luluh lantak. Masarakat menyelamatkan diri ke gunung-gunung. Rumah-rumah hancur rata dengan tanah. Pak Wan Abdullah bersama istri dan anaknya yang masih kecil Wan Izhar menyelamatkan diri ke gua yang ada di sekitar gunung Ranai. Malam-malam yang mencekam mereka lalui dengan penuh keperihatinan. Lampu minyak kelapa yang mereka letakkan di dalam kaleng kibin (biscuit) menambah temaram suasana. Suara-suara anjing melolong memperebutkan bangkai yang bertebaran menjadikan suasana semakin tidak menentu. Bau amis menyebar kemana-mana berbaur dengan rasa ketakutan yang mendalam.

Suasana tersebut tidak berlangsung lama. Tentara Jepang kemudian mendarat di Bunguran. Mereka sangat kasar dan bengis. Untunglah keluarga Wan Abdullah dan keturunan Datuk Kaya Bunguran masih dihormati dan disegani. Wan Abdullah ditunjuk oleh Komandan tentara Jepang sebagai Kumiaico, pegawai pengurusan logistic tentara Jepang.

Masuknya tentara Jepang atau oleh masyarakat setempat menyebutnya tentara jepun membawa penderitaan yang cukup besar. Seluruh hasil pertanian dan nelayan diserahkan ke bagian logistic untuk persiapan perang. Masyarakat tidak mampu menolak. Jika tidak maka samurai akan bertindak. Cukup banyak masyarakat yang menjadi korban pancung. Mereka yang menolak perintah dibawa ke suatu tempat yang sekarang ini dikenal dengan nama Tanjung Kubu, disana mereka disiksa dan dipancung. Mayatnya langsung ditanam di lobang yang sudah dipersiapkan.

Untungnya perang dunia II tidak berlangsung lama. Tentara Jepang akhirnya takluk di tangan tentara sekutu atau masyarakat menyebutnya tentara mrikan (maksudnya Amerika). Pasukan Jepang ditarik pulang kenegerinya. Sampai akhirnya Indonesia merdeka. Akan tetapi penderitaan masyarakat masih tersisa. Saat itu semua serba sulit. Kebun-kebun hancur karena tidak sempat diolah. Perdagangan mati. Akhirnya masyarakat hanya makan sagu dan singkong. Sukurnya laut masih bersahabat. Ikan-ikan masih mudah didapat.

Baca Juga :  Kepri Terbaik Kedua Se-Indonesia, Ansar Ahmad Terima Dua Penghargaan dari Kemendagri

Kondisi yang tidak menentu ini memaksa Wan Abdullah untuk memutar haluan. Bulan Juni 1947 beliau membawa keluarganya pindah ke Midai. Pada saat itu Wan Izhar baru berumur 5 tahun. Usia emas bagi seorang anak. Akan tetapi Wan Izhar kecil melaluinya dengan suasana penuh keprihatinan.

Rupanya Tuhan berkehendak lain. Tahun itu juga telah merapat kapal kargo yang melayari daerah Bunguran dan sekitarnya. Perekonomian kembali bergairah. Masyarakat dapat menjual hasil buminya kepada tauke yang datang dari Singapura. Mata uang dolar kembali beredar di daerah Bunguran. Lambat laun daerah Pulau Tujuh semakin ramai, lebih-lebih lagi setelah pengakuan kedaulatan oleh belanda kepada Republik Indonesia pada tahun 1949.

Setelah pengakuan kedaulatan, daerah Bunguran dan sekitarnya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia., tergabung dalam kewedanaan Pulau Tujuh yang meliputi Bunguran Timur, Bunguran Barat, Midai, Serasan, Jemaja, Siantan, dan Tambelan. Masing-masing daerah dipimpin oleh seorang Amir (camat) dan seorang opas, semacam polisi pamong. Kewedanaan Pulau Tujuh berada di bawah Kerisidenan (Kabupaten) Kepulauan Riau dengan ibu kotanya Tanjungpinang.

Posisi Pulau Tujuh sebenarnya sangat strategis. Berada di Laut Cina Selatan, pulau tujuh merupakan pintu gerbang Utara Indonesia. Di sebelah Utara berbatasan dengan Vietnam dan Cina, sebelah Barat berbatasan dengan Malaysia Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Malaysia Timur. Tanahnya subur, lautnya kaya akan hasil ikan. Benar-benar LAUT SAKTI RANTAU BERTUAH.

Kita adalah …………………….
Anak bapak tua
Yang dulu bangun tumu
Buatkan unggun
Kepulkan asap yang menjulang
Sejuta harapan menanti di depan

Kita adalah ……………………
Anak bapak tua
Yang dulu bawakan cangkul
Gali harapan
Agar anak tidak sengsara badan

Kita adalah……………………
Anak bapak tua
Yang dulu bawakan parang
Tebaskan ilalang
Buatkan jalan
Agar anak tidak tersesat jalan pulang

Tapi kini
Mengapa kebun tak lagi berunggun
Tanah merah semakin merekah
Seperti sudah kehilangan berkah

Ilalang semakin menjulang
Menutup nisan sejuta kenang

O …anakku
Segeralah pulang……… (bersambung) ***

Editor: Sigik RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *