banner 728x90
Potret kampung tua di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). F- dok/ombudsman ri

Ini Catatan dan Hasil Investigasi Ombudsman RI Soal Relokasi 16 Kampung Tua dan Rempang Eco City

Komentar
X
Bagikan

Jakarta, suaraserumpun.com – Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam, pada rencana relokasi warga 16 Kampung Tua di Pulau Rempang. Berikut ini catatan dan hasil investigasi Ombudsman RI soal relokasi warga 16 Kampung Tua dan proyek Rempang Eco City di Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Badan Pengusahaan Batam telah mencadangkan alokasi lahan Pulau Rempang kepada PT Mega Elok Graha (PT MEG) kira-kira seluas 16.500 hektare. Lahan ini akan dikembangkan Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata. Dengan nama Rempang Eco Park Pulau Rempang kepada PT Mega Elok Graha.

Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian ini tidak sesuai ketentuan karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengeloaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam. Penerbitan HPL harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya adalah tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clear and clean). Sepanjang belum didapatkannya sertifipat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga menjadi tidak memiliki kekuatan hukum.

Baca Juga :  HPN 2024, Hasan SSos: Momentum untuk Menyatukan Langkah Pembangunan

Terdapat 16 Kampung Tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Johanes menjelaskan, dari 16 Kampung Tua yang diklaim masyarakat, hanya 10 titik yang hanya akan direlokasi sebagaimana Surat Keputusan Walikota Batam Nomor 105/HK/III/2004 tentang Perkampungan Tua di Kota Batam. Investigasi yang dilakukan Ombudsman Perwakilan Kepulauan Riau pada semua titik kampung tua di Pulau Rempang menemukan beberapa hal yang termasuk unsur penetapan kampung tua yaitu Tapak/Patok perkampungan tua, makam-makam tua, pohon-pohon budi daya lama berusia ratusan dan puluhan tahun, dokumen lama menandakan masyarakat telah berdiam sejak puluhan tahun bahkan sebelum masa kemerdekaan, terdapat sekolah lama.

“Sosialisasi yang dilakukan Badan Pengusahaan Batam masih tergolong belum masif, dan butuh waktu yang lebih lama untuk berupaya meyakinkan masyarakat mau direlokasi atau berdialog untuk mencari jalan tengah,” jelas Johanes melalui keterangan resmi yang diterima redaksi suaraserumpun.com, Senin (18/9/2023).

Baca Juga :  Cen Sui Lan: Anambas Segera Punya Kampus Perguruan Tinggi Termegah di Perbatasan NKRI

Selain itu, ada dugaan jika sosialisasi yang dilakukan tidak tepat sasaran sehingga berdasarkan temuan Ombudsman bahwa warga Rempang minim yang mendaftar untuk relokasi.

Johanes juga dengan tegas menentang segala bentuk represifitas yang dilakukan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan di Pulau Rempang. Turunnya ribuan aparat disertai penggunaan gas air mata dalam merespon penolakan masyarakat, justru akan menambah konflik menjadi semakin besar.

Akibatnya, lanjut Johanes, masyarakat di Pulau Rempang sangat terdampak dengan konflik yang terjadi akibat upaya relokasi masyarakat karena merasa terintimidasi. Ketakutan untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan maupun anak-anak yang takut bersekolah karena adanya aparat tentara di perkampungan mereka.

Berdasarkan penelusuran Ombudsman, masyarakat di 10 Kampung Tua yang ada di Pulau Rempang mendukung dilakukannya investasi di Pulau Rempang, namun menolak dilakukan relokasi. Mereka lebih mendukung apabila dilakukan penataan antara Kampung Tua dengan pengembangan investasi.

Selanjutnya, Ombudsman akan meminta klarifikasi kepada BP Batam, Pemerintah Kota Batam, Kementerian Investasi/BKKPM, Tim Percepatan Pengembangan Pulau Rempang serta pihak terkait lainnya. Selanjutnya akan diterbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) berupa tindakan korektif untuk dilaksanakan pihak Terlapor. Pemeriksaan yang dilakukan Ombudsman dilakukan guna melihat apakah ada maladministrasi pada Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang.

Baca Juga :  Praktik Wanita Pesanan Teman Kencan di Bintan Timur Terkuak, Tarifnya Rp4 Juta

“Proyek Strategis Nasional perlu memperhatikan mekanisme dan tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, untuk itu Ombudsman akan melakukan proses pemeriksaan apakah pembangunan Rempang Eco City sudah dilakukan sesuai dengan tahapan pada aturan tersebut atau tidak,” jelasnya.

Potret komplek makam sejarah di kampung tua Pulau Rempang, Kota Batam. F- ombudsman ri

Ombudsman juga akan mendalami penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di Pulau Rempang, apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan hak milik di tanah yang sudah turun temurun ditempati.

Seperti diketahui, permasalahan kasus Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City yang terdapat pada Keputusan Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 174 Tahun 2023 Tentang Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment) di Kawasan Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini mengakibatkan penduduk asli Pulau Rempang akan direlokasi ke Pulau Galang. (yen)

Editor: Sigik RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *