banner 728x90
Fattia Audina F- Istimewa/dokumentasi-fattia

Penyakit Maling Negara

Komentar
X
Bagikan

Oleh: Fattia Audina
NIM : 190563201079
Prodi : Ilmu Administrasi Negara
Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang

BERBICARA tentang patologi birokrasi ini tidak akan ada habisnya. Karena kita berbicara tentang suatu penyakit dalam tatanan birokrasi yang mana menggerogoti sendi sendi birokrasi pemerintahan tak terkecuali di desa.

Istilah patologi awalnya dikenal dalam dunia kedokteran saja. Namun dengan berjalannya seiring, waktu istilah patologi merambat ke dunia birokrasi. Patologi ini dengan tujuan agar birokrasi pemerintahan dapat mampu menghadapi tantangan-tantangan baik itu bersifat politis, ekonomi, sosial kultural, dan teknologi, yang mana mungkin sudah ada di dalamnya dengan begitu perlunya kita untuk mengidentifikasi dengan mencarikan terapi-terapi pengobatan yang paling efektif dalam menghadapi patologi birokrasi.

Adapun patologi yang menggerogoti pemerintah daerah dan sulit untuk di perbaiki seperti : pertama dalam konteks persepsi dan gaya manejerial. Kedua sebagai akibat rendahnya keterampilan/pengetahuan dan gagasan para pelaksana. Ketiga tindakan melanggar norma hukum dan perundang-undangan yang dilakukan oleh anggota birokrasi itu sendiri. Keempat menyangkut prilaku birokrat (behavioural approach). Kelima muncul sebagai akibat situasi  internal.

Baca Juga :  Foto Wike Julia Balik Kampung, 'Disambut' Beasiswa dan Diarak ke Rumah Dinas Bupati

Kelima penyakit tersebut bukan menjadi rahasia umum lagi dalam kehidupan berbirokrasi. Tidak ada birokrasi yang bebas dari penyakit, namun tidak ada birokrasi yang macet karena berbagai macam penyakit yang menghinggapinya.

Sebut saja yang baru-baru ini terjadi yaitu tindakan melanggar norma hukum dan perundang-undangan yaitu kasus korupsi mesin tepung ikan Rp 3 M yang dilakukan direktur utama (dirut) BUMD Lingga, RL, dan seorang pimpinan perusahaan swasta, EN. Dan setelah diselidiki ternya pengadaan barang dan alat tersebut tidak melewati proses yang benar.

Padahal pengerjaan tentang pengadaan barang dan jasa itu harus melalui proses lelang. Maka dihitunglah kebutuhan dalam pengadaan mesin dan alat untuk proses pembuatan tepung ikan senilai Rp 3.090.726.183, dan diduga juga adanya fee senilai Rp 150 juta dari proyek itu. Alat tepung ikan yang kemudian dibeli pun tidak sesuai spesifikasi sehingga tidak bisa digunakan (sumber: news.detik.com).

Baca Juga :  PPKM di Kepri Mau Turun Level? Kuncinya dengan Cara Membujuk Lansia

Dapat dilihat kasus tersebut masih maraknya kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan terutama pemeritah daerah yang seakan memberi bukti bahwa penyakit dalam birokrasi yang satu ini menjadi masalah utama yang belum bisa diminimalisir. Hal tersebut menggambarkan betapa buruknya birokrasi di Indonesia salah satunya yang terjadi di daerah sehingga merugikan terkhusus masyarakat dan yang lebih menyayat hati para oknum tersebut lebih mementingkan keuntungan pribadi mereka.

Maka diperlukannya terapi-terapi pengobatan dalam patologi birokrasi korupsi tersebut yang ideal, sebagai tolak ukur keefektifitasan kegiatan yang dilakukan untuk memberantas kasus korupsi tesebut. Seperti halnya memberikan hukuman berat pada para koruptor dengan menyita seluruh asset kekayaan. Sehingga meraka jatuh miskin dan memberikan hukuman mati untuk mereka maka akan memunculkan efek jera pada pelakunya, sehingga kasus korupsi dapat dibasmi di negeri ini.

Baca Juga :  Taufany Muslihuddin Jadi Pembeda, Timnas Indonesia ke Final SEA Games 2023

Kemudian harus menjadi pemimpin orang yang berintegritas yaitu pemimpi yang professional, andal, matang, tanpa kompromi, menolak pengakuan untuk dirnya sendiri demi sebuah perubahan besar terhadap apa yang dipimpinya. Karena seorang pemimpin, sudah seharusnya menjadi contoh yang baik bagi setiap anggotanya. Dan membangun pendidikan moral dengan berlandaskan nilai religi sejak dini.

Karena pendidikan moral yang berlandaskan nilai religi merupakan pondasi , untuk tidak mudah tergiur dengan praktik korupsi karena mereka menyadari bahwa perbuatan korupsi akan merugikan orang lain dan agama tidak pernah mengajarkan untuk melakukan perbuatan tercela. ***

Editor: Sigik RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *