banner 728x90
Berleha di Tepi Hari Raya. (ilustrasi)

Cerpen: DI TEPI HARI RAYA

Komentar
X
Bagikan

PENULIS: Candra Ibrahim

LEHA bergegas mengemas dagangannya yang mulai dingin. Aneka gorengan dan ikan bakar sisa dimasukkan satu-persatu ke bakul aluminium berukuran besar. Hampir selingkaran pelukan. Dia menghela nafas. Pandangannya tertuju pada kresek hitam berisi uang.

“Alhamdulillah. Sudah dua minggu buka stand, hasilnya tak buruk. Tapi belum lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan setelah Ramadan”. Dia bergumam masygul. Keringat menetes dari balik maskernya yang tak lagi baru.

Sore itu dia ditemani anak gadisnya berjualan di bazaar Ramadan di sebuah pusat pasar. Sudah dua pekan dia dan anaknya membuka stand di situ. Suaminya kebagian menjaga si bungsu dan rumah untuk menyiapkan perbukaan. Hanya menyusunnya di meja makan kayu, disisihkan dari dagangan yang tadi dibawa Leha ke bazaar.

Ini Ramadan kedua Cek Leha membuka stand di Mega Legenda, Batam. Yang pertama tahun lalu. Ketika pandemi covid-19 mulai menyerang. Suaminya baru saja di-PHK dari pabrik, enam bulan yang lalu. Leha yang sebelumnya karyawan di showroom mobil, tak diperpanjang kontraknya. Wanita berparas cantik itu dirumahkan sudah setahun. Anak mereka masih SMP dan SD. Sepasang, cantik dan tampan.

Leha menyalakan motor yang masih dicicil itu. Dia dapat fasilitas cash keras ketika masih bekerja di showroom dulu. Dealer dan showroom masih milik pengusaha yang sama. Cicilan sempat terhenti dua bulan. Beruntung dapat keringanan dengan mencicil sesuai kemampuan. Yang penting tidak lebih dari tiga bulan menunggak.

Baca Juga :  Dijual Rumah Bertingkat dan Full Keramik dengan Harga Murah, Hubungi Nomor Kontak Ini

“Mari nak, kita balik. Dah petang, nanti ayah engkau lama betul menunggu,” ajaknya kepada si sulung, Anjeli, 14 tahun.

Motor matik itu membelah jalan yang masih ramai menuju ke Selatan. Anaknya duduk di atas keranjang yang mulai ringan karena isinya sudah terjual sebagian besar.

Di jalan, mereka sering berpapasan dengan kendaraan lain yang melaju ke tujuan masing-masing. Ada beberapa yang tak memakai helm dan masker. Kadang tertawa cekikikan sambil bercanda. Mungkin sedang “melengah puasa”.

Dua puluh menit kemudian mereka sampai di rumah. Langit mulai gelap. Lampu-lampu jalan di kampung tua itu sudah menyala. Berpendar di antara pepohonan yang mengering karena kemarau. Desau angin laut sesekali menyayat telinga. Menghempaskan daun-daun kering ke atap rumah yang terbuat dari seng.

“Assalamualaikum”.

Tak terdengar sahutan dari dalam.

“Yaaah, Ayah. Assalamualaikum”. Kali ini agak kencang suara Leha.

“Waalaikumsalam”.

Wajah suaminya muncul dari balik pintu kayu. Si kecil ikut menyongsong. Wajahnya sumringah melihat ketibaan ibu dan kakaknya.

“Sudah. Awak mandilah. Biar Ayah yang kemas dagangan. Anjeli, mandi juga sekalian. Numpang di sumur sebelah, biar tak terlambat berbuka,” kata lelaki 40 tahun itu.

Baca Juga :  Mubalig Dapat Bantuan, Ansar: Pembangunan Infrastruktur Jalan dan Jembatan di Lingga Rp26,5 Miliar

Di kampung tua itu, warganya biasa memberikan akses untuk tetangga yang hendak menggunakan sumur bersama. Dindingnya sengaja tidak ditutup semua dan ada celah antar-rumah di bagian belakang. Kebanyakan warga masih bersaudara. Mereka juga bisa menggunakan sumur bor di mushala kampung yang airnya dialirkan menggunakan mesin ke bak berukuran besar.


Usai berbuka, Hasan, suami Leha, menunaikan shalat Maghrib. Petang itu mereka tak berjamaah. Leha kelihatan kelelahan dan memilih shalat setelahnya. Anak-anak mereka menyusul. Si kecil bersebelahan dengan kakaknya. Ruang shalat keluarga itu tidak begitu besar. Menyatu dengan ruang tamu berisi perabotan sederhana dan sebuah televisi kecil.

“Awak tak Tarawih malam ini?” tanya Hasan.

“Taklah, Yah. Penat betul. Nak manaskan ikan sekalian untuk sahur. Ayah pergilah bawa Alif,” jawab Leha.

“Anjeli ikut, Buk. Semalam dah tak Tarawih juga,” sela anak abege yang sekolah di SMP Islam itu. Sejak pandemi, Anjeli belajar online melalui ponsel Hasan yang lebih sering hang daripada bagus itu.

Setelah suami dan anak-anaknya berangkat ke mushala, Leha beranjak ke dapur untuk memanaskan ikan agar tak basi sebelum sahur.

Malam itu pikirannya tak seperti biasa. Kerap menghela nafas. Seperti ada beban yang begitu berat dia rasakan. Kehidupan ekonomi yang tak kunjung membaik, membuatnya membatalkan beberapa rencana.

Baca Juga :  Hari Jadi Ke-19 Kepri, Gubernur: Vaksinasi Sudah Mencapai 80 Persen

Rencana terbesar Leha adalah punya anak lagi dan umroh bersama suami. Leha punya keyakinan kuat bahwa umroh akan membawa perubahan besar dalam keluarganya. Allah akan membuka pintu rezeki lebih luas. Tapi apa boleh buat, kondisi belum memungkinkan. Jangankan untuk umroh, untuk bertahan hidup dan membayar cicilan saja sudah sangat berat.

Pikiran Leha terus melayang ke angan-angan yang belum kesampaian itu. Sisa dua pekan menjelang lebaran adalah harapan. Dia berharap pembeli masih meminati ikan bakar dan gorengan yang dia jajakan di bazaar. Tapi dia juga sadar bahwa ikan bakar hasil tangkapan suaminya itu takkan membawa untung besar. Hanya cukup untuk makan.

Sementara itu, Hari Raya makin mendekat. Leha merasakan kesedihan yang tak terucapkan. Raut wajahnya sendu.

“Hmm, Raya makin dekat. Mestinya aku bergembira!” gumamnya seakan menyalahkan diri sendiri.

Dia kemudian bingkas dari dapur menuju ruang tengah. Diraihnya hape android dan menuliskan kisah ini, lalu mengirimkannya pada saya, teman baiknya. Keesokannya harinya, baru pesan itu saya baca, di subuh yang basah.

“Saya nak awak menuliskannya dengan cara bahagia!” seru Leha di akhir pesan WA-nya. Tapi, saya ragu. Apakah saya harus berbohong? (***suaraserumpun.com)

  • cerita ini fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, tempat, dan alur cerita, hanya kebetulan sahaja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *